Film Hindia sudah mengalami pasang surut rating di media Indonesia. kisaran 1995-an, tahun 2005, dan sekarang tahun 2015. mungkin setiap 5 tahun produksi bollywood selalu mengalami masa puncak. dengan siklus 5 tahunan, untuk pemirsa Indonesia. Kembali kejudul-fokus kita saat ini. Alia Bhatt, Huh…cantik sudah
tentu, tapi menurut saya bintang muda insan perfileman lingkar bollywood ini telah membuktikan produktifitas karyanya lewat
movie yang terus rilis mulai tahun 1999 sampai sekarang. Saya mencatat 4 film
yang telah mengangkat namanya sejajar dengan aktris bollywood papan atas. Disinilah
pergeseran cara pandang produser terjadi, saat Alia belum tenar, dan dipasang
sebagai aktris utama, ternyata mampu mengangkat film yang dia lakoni. Munculah
bintang baru yang menggeser paham kesuksesan film india sangat banyak ditentukan
oleh ketenaran pemainnya. Judul Movie itu antara lain; Student of the year,
Highway, 2 State, dan Humty sharma Ki Dulhania. Dara kelahiran Mumbai 15 maret
1993 ini menurut saya mampu menyentuh penikmat film dengan totalitas main-perannya. Setelah menonton filmnya perasaan memikir dan
terbayang ulang tentang alur cerita, selalu saya dapati di filmnya. Puncaknya
saat menonton Highway, suguhan alur cerita yang sederhana dan realistik telah
menyadarkan saya, model cerita romantic-drama yang mengena pada penonton. Dan film
drama dalam produksinya saya membayangkan lebih efisien propertynya dibanding
film action. Sebagai imbangan tetap saja film-film india banyak model kolosal
saat sesi bernyanyi...dan di film Highway ini tidak terjadi. Salut untuk Alia
Bhatt. Aku merindukan karyamu di 2015 ini. Tulisan ini wujud dari telusuran situasi
film dan drama dari India menjadi favorit lagi di Indonesia, setelah sekian
tahun tidak laku, dan terbukalah kran buntu itu, bebarengan diputarnya serial
Mahabarata, Jodha Akbar dan, King Sulaiman, dll di televisi Indonesia menuai rating
tinggi. Hindiholic effect awalnya, lalu ketemulah si Alia Bhatt sebagai sosok
yang patut diapresiasi karyanya. Indonesia sendiri, semoga segera mengadaptasi
situasi ini untuk menggeliatkan insan perfilman Kita.slm
Selasa, 24 Februari 2015
Senin, 23 Februari 2015
Menuju sekolah indera
Pendidikan mengandaikan outputnya menjadi individu yang
mumpuni dalam pengetahuan maupun ketrampilan. Nah dalam proses pembelajaran ini
kemudian disuguhkan berbagai informasi pengetahuan dan ketrampilan maupun teori
memecahkan persoalan pada umumnya, untuk bekal mengarungi perjalanan
selanjutnya, perjalanan hidup bersama manusia lainnya, terjun di masyarakat.
Kritik pendidikan bisa dirunut mulai dari sajian kurikulum, metode
yang digunakan, analisis output yang diserap pasar. Yang secara umum ‘digeneralisasi’
kegagalan dunia pendidikan kita disebabkan oleh sistem pendidikan kita yang
tidak mampu menghasilkan output siap kerja ataupun sesuai dengan standart
pasar, lulusan akhirnya bekerja dengan “diluar skill” yang didapat dibangku
sekolah. Inipun juga bukan semata kesalahan lembaga pendidikan jika kasusnya “yang
bekerja dengan tidak sesuai ijazahnya” memiliki pilihan sendiri terjun kerja pada
peluang yang ada, berbeda dengan yang diajarkan dibangku pendidikan. Tetapi
intinya kembali kita menyatakan sistem pendidikan kita tertuduh tidak mampu
mengantarkan lulusan sesuai kebutuhan hidup dikemudian harinya.
Menggagas yang baru:
Perihal metode pendidikan dan “epistemic authority” serta struktur
pengetahuan, jika dipermasalahkan, toh kita diberi kebesasan memilih, bahkan
boleh menyediakan diri jika mampu menggagas yang diprediksi paling bagus untuk
memproses peserta didik sesuai dengan target ‘keluaran’. Munculnya sekolah
berafiliasi “luar negeri”, model sekolah alam, konsep fullday scholl, dan
sederet konsep sistem yang diunggulkan, tetaplah memiliki kelebihan dan
kekurangan. Akhirnya kejelian orang tua sebagai pengarah anak menjadi penting, sebagai
penentu dalam maksimalisasi pengembangan potensi anaknya masing-masing. Biaya
tentu menjadi resiko tanggungan bagi yang pilih-pilih ini, yang ingin puas
dengan model pendidikan atas output yang dijanjikan setiap “model khusus”
lembaga pendidikan ini.
Pemerintah lalu apa pentingnya? Iya ini amanah undang-undang,
prinsipnya tentang kewajiban pendidikan adalah tanggungan negara. Kemampuan keuangan negara dan kepentingan
standarisasi-lah yang menjadikan negara menerapkan sistem pendidikan yang ditetapkan
paling maksimal untuk diterapkan. Memenuhi fungsinya sebagai pengaturan kebijakan
umum dan penjaga ‘kesatuan bangsa’ lewat pendidikan. Kebijakan pendidikan
lokal? Sudah diatur dan belum ada yang berani melakukan rombakan besar2an,
dilihat dari komitmen para jumlah kepala daerah yang mau mati-mati an memajukan
lembaga pendidikan meskipun bersifat “kedaerahan”. Belum muncul “percontohan”
yang dimunculkan atas inisiasi dan dukungan penuh yang berlingkup “kekhasan daerah”.
Kasuistik yang mengagumkan:
Jangankan saya, yakin, semua penggiat pendidikan yang resah
juga belum punya rumus jitu menggerakkan dunia pendidikan kita (hehehe…asal
klaim aja nih). Lepas dari rentetan masalah yang seolah-olah kita jeli
mempermalahkan ini, tapi kita tengok sebntar, bahwa berkali-kali kita dibuat
tercengang dengan prestasi yang diraih anak-anak “didik” kita. Mulai juara
olimpiade level antar negara, penemuan-penemuan istimewa lewat lomba “biasa”,
sampai banyaknya manusia indonesia ‘terdidik’ yang enggan pulang ke tanah “ibu
pertiwi” karena lebih dihargai “ilmunya” di negara lain. Di paragrap ini tak
usah dibahas apakah itu hasil “didikan” normal atau “perlakuan khusus” yang di“treatment”kan.
Yang jelas daripada banyak omong, banyak sudah individu atau kelompok penggiat
pendidikan yang sedemikian rela berjuang ke pelosok-pelosok demi menghantarkan
hak pendidikan ini, demi mengamalkan ilmu mereka dengan atau tanpa campur
tangan pemerintah. Jangan sampai kritik kita muncul sekedar menodai perjuangan,
pengabdian, dan pengorbanan mereka yang jelas-jelas “tanpa pamrih”.
Secuil yang belum digarap, perenungan peluang dan mencari
model pendidikannya:
Maksimalisasi potensi peserta didik, diterawang melalui
kacamata ‘bloom’ atupun ‘gardner’, taksonomi yang “digarap” sudahlah sangat
lengkap. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (:bloom). Kecerdasan
linguistic, matematis-logis, kinestetik, visual-spasial, musik, interpersonal,
intrapersonal, naturalis(-religious:bagi yang bernaung pada agama tertentu) mengadaptasi
dari teori Howard gardner, sudah cukup membuntal-simpulkan teori mendidik kita.
Sekarang coba kita tengok sebentar sebagai fakta-pengalaman ini. Bahwa para
tester kopi, tester teh. Bahwa para ‘pencium’ digudang tembakau, pencium aroma
campuran minyak wangi. Bahwa digunakannya orang yang berpengalaman control
mesin pabrik, yang men-chek kerusakan dengan mendengarkan suara mesinnya,
dengan ketajaman telinga, pembuka brankas dengan ketajaman suara ‘klik’ kunci melalui
pendengarannya. Bahwa ‘tukang angok’ yang berdiri paling depan yang menentukan
arah perahu nelayan dalam mendapat tangkapan ikan. Dan sangat mungkin banyak ‘keahlian’
khusus dimasyarakat kita, yang belum mampu kita ‘potret’ sebagai salah satu
misi dan model pendidikan kita, bahkan sebagai andalan dalam penyiapan dan pengembangan
SDM anak-anak kita. Meskipun nyata mereka dibayar paling mahal dipekerjaan yang
mereka tekuni, mereka sangat dibutuhkan, dan teorinya sederhana, optimalisasi
indera menjadi tenaga ‘ahli’. Sayapun berusaha menemukan konsep ‘matang’
pendidikan model untuk ini. Menarik dan sederhana, Semoga!.
Langganan:
Postingan (Atom)