Senin, 23 Februari 2015

Menuju sekolah indera

Resume pendidikan:
Pendidikan mengandaikan outputnya menjadi individu yang mumpuni dalam pengetahuan maupun ketrampilan. Nah dalam proses pembelajaran ini kemudian disuguhkan berbagai informasi pengetahuan dan ketrampilan maupun teori memecahkan persoalan pada umumnya, untuk bekal mengarungi perjalanan selanjutnya, perjalanan hidup bersama manusia lainnya, terjun di masyarakat.
Kritik pendidikan bisa dirunut mulai dari sajian kurikulum, metode yang digunakan, analisis output yang diserap pasar. Yang secara umum ‘digeneralisasi’ kegagalan dunia pendidikan kita disebabkan oleh sistem pendidikan kita yang tidak mampu menghasilkan output siap kerja ataupun sesuai dengan standart pasar, lulusan akhirnya bekerja dengan “diluar skill” yang didapat dibangku sekolah. Inipun juga bukan semata kesalahan lembaga pendidikan jika kasusnya “yang bekerja dengan tidak sesuai ijazahnya” memiliki pilihan sendiri terjun kerja pada peluang yang ada, berbeda dengan yang diajarkan dibangku pendidikan. Tetapi intinya kembali kita menyatakan sistem pendidikan kita tertuduh tidak mampu mengantarkan lulusan sesuai kebutuhan hidup dikemudian harinya.
Menggagas yang baru:
Perihal metode pendidikan dan “epistemic authority” serta struktur pengetahuan, jika dipermasalahkan, toh kita diberi kebesasan memilih, bahkan boleh menyediakan diri jika mampu menggagas yang diprediksi paling bagus untuk memproses peserta didik sesuai dengan target ‘keluaran’. Munculnya sekolah berafiliasi “luar negeri”, model sekolah alam, konsep fullday scholl, dan sederet konsep sistem yang diunggulkan, tetaplah memiliki kelebihan dan kekurangan. Akhirnya kejelian orang tua sebagai pengarah anak menjadi penting, sebagai penentu dalam maksimalisasi pengembangan potensi anaknya masing-masing. Biaya tentu menjadi resiko tanggungan bagi yang pilih-pilih ini, yang ingin puas dengan model pendidikan atas output yang dijanjikan setiap “model khusus” lembaga pendidikan ini.
Pemerintah lalu apa pentingnya? Iya ini amanah undang-undang, prinsipnya tentang kewajiban pendidikan adalah tanggungan negara.  Kemampuan keuangan negara dan kepentingan standarisasi-lah yang menjadikan negara menerapkan sistem pendidikan yang ditetapkan paling maksimal untuk diterapkan. Memenuhi fungsinya sebagai pengaturan kebijakan umum dan penjaga ‘kesatuan bangsa’ lewat pendidikan. Kebijakan pendidikan lokal? Sudah diatur dan belum ada yang berani melakukan rombakan besar2an, dilihat dari komitmen para jumlah kepala daerah yang mau mati-mati an memajukan lembaga pendidikan meskipun bersifat “kedaerahan”. Belum muncul “percontohan” yang dimunculkan atas inisiasi dan dukungan penuh yang berlingkup “kekhasan daerah”.
Kasuistik yang mengagumkan:
Jangankan saya, yakin, semua penggiat pendidikan yang resah juga belum punya rumus jitu menggerakkan dunia pendidikan kita (hehehe…asal klaim aja nih). Lepas dari rentetan masalah yang seolah-olah kita jeli mempermalahkan ini, tapi kita tengok sebntar, bahwa berkali-kali kita dibuat tercengang dengan prestasi yang diraih anak-anak “didik” kita. Mulai juara olimpiade level antar negara, penemuan-penemuan istimewa lewat lomba “biasa”, sampai banyaknya manusia indonesia ‘terdidik’ yang enggan pulang ke tanah “ibu pertiwi” karena lebih dihargai “ilmunya” di negara lain. Di paragrap ini tak usah dibahas apakah itu hasil “didikan” normal atau “perlakuan khusus” yang di“treatment”kan. Yang jelas daripada banyak omong, banyak sudah individu atau kelompok penggiat pendidikan yang sedemikian rela berjuang ke pelosok-pelosok demi menghantarkan hak pendidikan ini, demi mengamalkan ilmu mereka dengan atau tanpa campur tangan pemerintah. Jangan sampai kritik kita muncul sekedar menodai perjuangan, pengabdian, dan pengorbanan mereka yang jelas-jelas “tanpa pamrih”.
Secuil yang belum digarap, perenungan peluang dan mencari model pendidikannya:
Maksimalisasi potensi peserta didik, diterawang melalui kacamata ‘bloom’ atupun ‘gardner’, taksonomi yang “digarap” sudahlah sangat lengkap. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik (:bloom). Kecerdasan linguistic, matematis-logis, kinestetik, visual-spasial, musik, interpersonal, intrapersonal, naturalis(-religious:bagi yang bernaung pada agama tertentu) mengadaptasi dari teori Howard gardner, sudah cukup membuntal-simpulkan teori mendidik kita. Sekarang coba kita tengok sebentar sebagai fakta-pengalaman ini. Bahwa para tester kopi, tester teh. Bahwa para ‘pencium’ digudang tembakau, pencium aroma campuran minyak wangi. Bahwa digunakannya orang yang berpengalaman control mesin pabrik, yang men-chek kerusakan dengan mendengarkan suara mesinnya, dengan ketajaman telinga, pembuka brankas dengan ketajaman suara ‘klik’ kunci melalui pendengarannya. Bahwa ‘tukang angok’ yang berdiri paling depan yang menentukan arah perahu nelayan dalam mendapat tangkapan ikan. Dan sangat mungkin banyak ‘keahlian’ khusus dimasyarakat kita, yang belum mampu kita ‘potret’ sebagai salah satu misi dan model pendidikan kita, bahkan sebagai andalan dalam penyiapan dan pengembangan SDM anak-anak kita. Meskipun nyata mereka dibayar paling mahal dipekerjaan yang mereka tekuni, mereka sangat dibutuhkan, dan teorinya sederhana, optimalisasi indera menjadi tenaga ‘ahli’. Sayapun berusaha menemukan konsep ‘matang’ pendidikan model untuk ini. Menarik dan sederhana, Semoga!.

Rabu, 11 Februari 2015

8 Tahun


Tanggal 2 mei 2007-Tahun itu saya melihat pertama kali Sam Anto Baret di bulungan, Jakarta Selatan. Tempat induk Kelompok Penyanyi Jalanan berkumpul. Imaginasi saya langsung terbayang tokoh dalam Kho Ping Hoo, partai pengemis Kaypang, yang dalam dunia persilatan sejajar dengan kelompok Butong Pai, Siu Liem Pay dll. Dan di Jakarta ini sungguh saya menemukan wujud nyatanya. Kelompok yang berbasis orang 'pinggir', kelompok yang berdiri atas respon ketimpangan sosial. dan selalu, cara berpikirnya non- mainstream. Dalam berkelompok dan tatanan organisasinya. KPJ memiliki banyak cabang, dan malam itu terbukti banyak yang hadir dalam acara puncak ulang tahun KPJ. Lagi-lagi terlintas seperti cerita Kho Ping Hoo, banyak Tokoh2 lokal berdatangan entah dari cabang mana saja, yang jelas raut muka selalu tersenyum dan ramah menyapa setiap saling papasan, luar biasa! Saya mendapati suasana ini di Jakarta. Suasana rukun dan bersahaja. Yang mestinya sulit terjadi di 'kerasnya Ibu Kota'. Semua benar-benar menjadi saudara yang menyatu dalam fokus berlomba jadi orang‘benar’. Hanya kata ini yang bisa mewakili-penggambaran ini-menurut saya. Menyimak dari orasi Sam Anto Baret waktu malam puncak yang bertema ‘Muntah Putih’ itu. Tertepis gambaran disini adalah tempatnya kelompok preman yang bermuka ‘mencureng’  dan ganas, ternyata tidak demikian adanya dan jauh berbalik. Saat Sam Anto memperkenalkan tamu yang datang kepada saudara-saudara lain yang lebih dulu hadir, beliau selalu menggunakan bahasa indonesia campur ‘Kromo Inggil’ , bahasa paling halus. Padahal beliau sedang berhadapan dengan ‘anak-buah’nya sendiri dari daerah. Terkesiap dan tercengang aku waktu itu. Subhanallah…sejuk sekali di dalam hati. Pantas, Tampilan Sosok Sam Anto garang dan jangkung , tapi begitu bertutur kata,  sangat halus dan tenang. Hanya dari mendengar dan caranya berucap itu, saya mendapatinya begitu berwibawa. Bukan karena kasarnya, tapi malah karena halusnya. Dan moment kedua, Saat Tetua-Tetua KPJ (begitu saja saya menyebut, saya tidak hafal bro..) berkumpul, selalu saja ada pelayan (anak-buah) yang mengantar memberi minuman, walaupun itu tidak karena diperintah untuk menyajikan minum. Begitu minuman datang selalu mereka mengucap “suwun yo le…” lalu penyedia minum menjawab dengan santun “nggih…” . Nah.!. siapa yang tidak bangga memiliki -atasan/pemimpin/tetua/senior/bos- yang sangat menghormati dan menghargai -bawahan/yunior/karyawan- begini. Ringan untuk mengucap terimakasih pada siapapun. titik!
Dalam orasi pembukaan malam puncak aku hanya menghafal 2 paragrap yang mencerminkan pandangan Sam Anto Baret tentang Jalanan, kehidupan dan perjalannya. “Jalanan bukan impian, jalanan bukan khayalan, jalanan adalah kenyataan. Jalanan bukan pelarian, jalanan bukan sandaran, jalanan adalah kehidupan”. Dan “Kalau berani harus benar, kalau benar harus menang, dan kalau sudah menang duduknya yang benar”. Lalu diringi musik yang liriknya begini “menyampaikan kebaikan, tidak harus merasa baik. Menyampaikan kebenaran tidak harus merasa benar, kebenaran dan kebaikan itu ilmunya Tuhan, kebenaran dan kebaikan sudah ada sebelum kita dilahirkan”.

9 pebruari 2015-Berjumpa lagi saat Sam Anto berkunjung ke daerah….bla..bla..bla, bincang tentang sejarah pengamen, yang sudah ada sejak abad 17, 4 motivasi orang ke jalanan (sebagai karir, batu loncatan, iseng, dan profesi), sampai kenapa KPJ menggunakan istilah penyanyi bukan pengamen, karena tidak ada yang bercita-cita menjadi pengamen. tiba saatnya Sam Anto bicara tentang Jakarta kekinian..tentang kemungkinan jalanan akan semakin diserbu oleh banyak orang, karena semakin tidak banyak pilihan. dan apa yang paling kurekam? Satu gong paragrap saja “Kebenaran adalah ajaran, Kebaikan adalah Perbuatan dan Takut itu tidak punya rumah…wong hidup sekali saja”. Rasanya bergetar sampai kedalam hatiku saat itu juga. Cara berfikir nya, model perlawanan dan perjuangannya, konsistensi dan daya tahan yang Sam Anto pesankan, sungguh memukul ‘Malu’ apa yang sudah aku, sebagai generasi muda yang angin-anginan berbuat. Sam Anto memang nampak kelihatan lebih tua karena usia..tapi parau suaranya tetap semangat dan tajam. Pantang henti...”usiaku jek 39 iki” begitu candanya...  Menunduk malu kami, membangunkan lupa kami tentang ‘daya tahan’ didalam “Kebaikan adalah Perbuatan dan Takut itu tidak punya rumah…wong hidup sekali saja”.”takutlah kalau kita mengambil barang orang lain, takutlah kalau kita menindas orang lain…”. Semoga panjang umur untuk Sam Anto.

Labels

Asal (23) Perbuatan (22) Sikap (22) Suasana (18) Pertanyaan (15) Dream (10) Perjalanan (10) Tinggal Menerima (6) Main-main (4)